JAKARTA, iNews.id - Penjajahan ekonomi pada hakikatnya adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak atas kesejahteraan. Sebab tujuan dari lahirnya negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal itu dikatakan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang hadir secara virtual dalam Seminar Nasional Hari HAM Internasional bertema “Urgensi Penegakan HAM Demi Mewujudkan Indonesia Yang Berkeadilan” yang diprakarsai Aliansi BEM Nusantara Daerah Lampung, Sabtu (10/12/2022).
"Hak Asasi paling mendasar dan substansial adalah kemerdekaan semua bangsa. Ini sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Tertuang dalam naskah Pembukaan UUD kita. Sehingga tidak boleh ada kolonialisme dalam bentuk apapun, karena itu sama dengan penjajahan," kata LaNyalla.
Hanya saja, hari ini terjadi pola kolonialisme dalam bentuk baru yang menyusup melalui wajah Globalisasi yang menyatu dengan oligarki ekonomi di dalam negeri.
Menurut LaNyalla, integrasi ini ditandai dengan sejumlah perjanjian internasional sebagai konsekuensi pergaulan internasional yang memaksa bangsa ini untuk menjalaninya.
"Persoalannya adalah, perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka?" tanya LaNyalla.
"Ini otokritik dari saya terhadap persoalan Hak Asasi Manusia. Karena penjajahan dalam bentuk lain masih terjadi hingga hari ini. Indonesia menjadi salah satu korban penjajahan ekonomi, melalui globalisasi yang berwatak predatorik," tegas dia lagi.
Menurut Senator asal Jawa Timur itu penjajahan ekonomi dalam bentuk baru ini menyebabkan jutaan rakyat Indonesia kehilangan hak atas kesejahteraan. Padahal hak atas kesejahteraan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi.
LaNyalla memberi satu contoh yang dialami Indonesia saat krisis moneter di tahun 1997-1998. Saat itu terjadi penandatanganan Letter of Intent IMF oleh Presiden Soeharto.
"Apakah penandatanganan saat itu selaras dengan konstitusi kita? Konstitusi kita jelas memproteksi rakyat Indonesia. Sementara IMF mensyaratkan penghapusan subsidi dan proteksi demi kepentingan pasar bebas. Siapa yang happy dari penandatanganan Letter of Intent IMF? Kita atau kapitalisme global?" ucapnya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait