Padahal di satu sisi, katanya, kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional.
Tapi alih-alih hal itu menjadi koreksi. Justru sebaliknya, di era reformasi negara ini melakukan perubahan Undang-Undang Dasar secara total dari tahun 1999 hingga 2002. Perubahan itu justru membuka ruang bagi ‘penjajahan ekonomi’ wajah baru melalui liberalisasi ekonomi yang kapitalistik di Indonesia.
Dalam perubahan itu memang ada 10 pasal tentang Hak Asasi Manusia. Tetapi di sisi lain, hak atas kesejahteraan tergerus oleh Daulat Pasar.
Dilanjutkannya, dari perubahan konstitusi tersebut, kekuasaan negara terhadap kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan air, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak telah dilucuti, untuk diberikan kepada swasta dan asing.
Karena negara sudah dilucuti untuk menguasai dan mengolah kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia yang melimpah ini, negara hanya berfungsi sebagai 'host' bagi investor.
"Kewajiban pemerintah untuk menjamin rakyat dapat mengakses kebutuhan hidupnya, dikatakan sebagai Subsidi. Sehingga sewaktu-waktu Subsidi dapat dicabut, karena APBN tidak mampu lagi mengcover biaya tersebut," katanya.
Menurut LaNyalla, hal itu pada hakikatnya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya hak atas kesejahteraan.
"Saya ingin memperluas perspektif pembicaraan tentang HAM, sehingga tidak terjebak hanya dalam koridor pelanggaran HAM masa lalu saja. Tetapi pelanggaran HAM akibat penjajahan ekonomi dalam bentuk baru juga harus menjadi diskursus dalam diskusi dan kajian akademik," tukas LaNyalla.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait